Senin, 21 Desember 2015

Imam abu hasan as-syadziliy, bagian 6, tulisan Kyai Choliedin Qosim

Lanjutan postingan SISI LAIN PERJALANAN SYECH ABUL HASAN ASSYADZILI.... 10 april 2015..



Diantara Karamah Imam Syadzali
=======================

Pada suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak perempuan yang paling disenangi dan paling dibanggakan terserang penyakit langsung meninggal. Ketika mereka sedang sibuk memandikan budak itu untuk kemudian dishalati, mereka lupa bara api yang masih menyala di dalam gedung. Tanpa ampun bara api tadi melalap pakaian, perhiasan, harta kekayaan, karpet dan kekayaan lainnya yang tidak bisa terhitung nilainya.
Sembari merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan yang pernah menahan Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa kejadian-kejadian ini karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan demi melepaskan ‘kutukan’ ini saudara Sultan yang termasuk pengikut Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada Syekh, atas perlakuan Sultan kepadanya. Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra. Ketika mati ia juga banyak mengalami cobaan baik harta maupun agamanya.

Di antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, “Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, “Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau mendengar suara , “Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama’ dan para penguasa. Suara itu berkata kepadaku, “Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama’, maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu”.

Di antara karomah sydi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh menentang Hizib Bahr, Syekh Syadzili berkata, “Demi Allah, saya mengambil hizib tersebut langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin (setiap huruf)”.

Di antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu majlis beliau menerangkan bab zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian yang bagus. Ketika itu ada seorang miskin ikut dalam majlis tersebut dengan memakai pakaian yang jelek. Dalam hati si miskin berkata, “Bagaimana seorang Syekh menerangkan bab zuhud sedangkan dia memakai pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang yang zuhud di dunia”.

Tiba-tiba Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, “Pakaian kamu ini adalah pakaian untuk menarik simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan menaruh iba padamu. Sebaliknya pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang kaya dan terjaga dari meminta-minta”.
Sadar akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh Syadzili seraya berkata, “Demi Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam hatiku saja dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh”. Rupanya hati Syekh terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin itu dan menunjukkannya ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan. Kemudian syekh berkata, “Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan. Dan semoga hidupmu berkah dan mendapatkan khusnul khatimah”.

Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :

1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).

2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).

3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :

1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.

2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.

3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.

4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Imam Syadzali dan keilmuan

========================

Di kota kelahirannya itu Syadzili pertama kali menghafal Alquran dan menerima pelajaran ilmi-ilmu agama, termasuk mempelajari fikih madzhab Imam Malik. Beliau berhasil memperoleh ilmu yang bersumber pada Alquran dan Sunnah demikian juga ilmu yang bersumber dari akal yang jernih. Berkat ilmu yang dimilikinya, banyak para ulama yang berguru kepadanya. Sebagian mereka ada yang ingin menguji kepandaian Syekh Abu al-Hasan. Setelah diadakan dialog ilmiah akhirnya mereka mengakui bahwa beliau mempunyai ilmu yang luas, sehingga untuk menguras ilmunya seakan-akan merupakan hal yang cukup susah. Memang sebelum beliau menjalani ilmu thariqah, ia telah membekali dirinya dengan ilmu syariat yang memadahi.

Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’. Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, dan Hizb Bahr adalah wiridan wajib pengamal Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya.

Beliau secara nasab bersambung hingga Rasulullah SAW melalui puterinya Sayyidatuna Fatimah Az-Zahrah. Keistimewaan nasab ini tampak dalam budi pekerti beliau yang indah lagi terpuji dan mengagumkan banyak orang, sehingga mereka banyak mengambil pelajaran dan hikmah dari beliau.
Pada masa kecilnya, beliau sudah dibekali oleh orang tuanya dasar-dasar ajaran agama, kemudian berguru kepada ulama dan sufi besar pada masa itu, yakni Syeikh Abdul Salam bin Masyisyi. Dari gurunya ini pula, kemudian beliau dikirim kepada ulama besar yang tinggal di Syazilia, Tunisia.

Keberangkatan beliau ke Syadzily ini merupakan awal dari pengembaraan sufistiknya. Hingga setelah mendapatkan banyak ilmu dari gurunya di Syazilia, beliau ditugaskan gurunya untuk mengembangkan ilmunya di Iskandaria, Mesir. Sebelum pindah untuk berguru ke Syazilia, nama Syekh Abul hasan Asy Syazili sudah demikian harumnya; karena itu berita kedatangan beliau telah mengundang perhatian masyarakat, sehingga mereka menantikan kedatangan beliau. Demi mendengar hal itu, maka dengan ditemani oleh Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Salamah, beliau memilih jalur lain dan mengasingkan diri di Pegunungan Zagwan untuk bisa berhubungan secara sembunyi-sembunyi dengan gurunya di Syazilia.

Begitulah setelah lama berkhalwat di Zagwan; pada akhirnya beliau diperintahkan gurunya agar turun gunung dan berdakwah di masyarakat. Sudah barang tentu masyarakat yang ingin melihat dan berguru kepadanya datang berduyun-duyun, bahkan diantara mereka banyak para pejabat Negara yang hadir. Setelah itu beliau diutus gurunya ke Iskandaria. Dan rupanya kota ini menjadi akhir dari pengembaraan beliau, sebab disitu pula; setelah lama membimbing masyarakat, beliau akhirnya wafat dan dimakamkan disana.
Selama berada di Tunisia, beliau bersahabat dan banyak berdiskusi dengan para Ulama dan kaum Sufi besar disana. Di antara mereka terdapat :

• Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf As Syazili
• Abu Abdullah Al Shabuni
• Abu Muhammad Abdul Aziz Al-Paituni
• Abu Abdillah Al Binai Al Hayah
• Abu Abdillah Al-Jarihi

Sedangkan diantara murud-murid beliau di Tunisia, dimana sebagian mereka adalah para Ulama kenamaan’ yaitu :

• Izzudin bin Abdul Salam
• Taqiyudin bin Daqiqi’id
• Abul Adhim Al-Munziri
• Ibnu Shaleh
• Ibnu Hajib
• Jamaluddin Usfur
• Nabiuddin bin Auf
• Muhyiddin bin Suraqah
• Ibnu Yasin

Diantara kemuliaan beliau, sebagaimana kesaksian sahabat seperjalanannya, bahwa diutusnya Syekh Abul Hasan Ali As Syazili oleh gurunya agar berangkat menuju Iskandaria, karena di kota itu telah menunggu 40 Waliyullah untuk meneruskan pelajaran kepada beliau.

Dasar-dasar Pemikiran Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

• Seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran Syari’ah.

• Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :

1.   Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )

2.   Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An Nifari ( menguraikan tentang         kerinduan Tokoh sufi kepada Allah swt )

3.  Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )

4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )

5. Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )

6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )

7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian )

Abul Hasan Asy-Syazili adalah seorang tokoh sufi yang sudah termasyhur. Hizb An-Nashr yang merupakan kumpulan doa-doa untuk meraih kemenangan dalam menghadapi musuh-musuh Islam sering dibaca dalam kumpulan wirid-wirid Dalil Al-Khairat. Karangannya As-Sirrul Jalil fi KhawashHasbunnal wa Nimal Wakil (rahasia yang agung dalam keistimewaan Hasbiyallahu wa nimal wakil) telahmenampilkan suatu alam yang khas kaum sufi. Alam yang tidak dapat dijamah lewat pendekatan logika. Sebab perangkat-perangkat yang digunakan adalah suatu yang lain dari rasio. Dari itu pula maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa menilai dan menghukum alam ini dengan rasio adalah suatu kesia-siaan. Sekalipun demikian jauh keterlibatan dan peran Abul Hasan dan tokoh-tokoh sufi seperti Ibrahim bin Adham, Al-Junaid Al-Baghdadi, Ibn Atha As-Sakandari, Al-Qusyairi dalam alam rohani yang khas ini, tapi patut diakui bahwa mereka tidak pernah melampaui tapal batas syariat. Justru alam kerohanian yang mereka bangun berdiri kokoh di atas garis-garis syariat yang  jelas dan terang. Tidak seperti beberapa tokoh lain atau pengaku-pengaku diri mereka sebagai waliyullah yang memutuskan dari praktikritual mereka. Ketika seorang laki-laki menyebutkan di depan Al-Junaid Al-Baghdadi tentang marifat Allah Taala dan ia mengatakan bahwa ahli adalah orang-orang yang sampai ke tingkat

meninggalkan segala amal perbuatan sebagai suatu sikap kebajikan dan pendekatan diri kepada Allah Taala, Al-Junaid yang bermazhab Abu Tsaur dalam fiqhnya dengan tegas membantah, Itu perkataan sekelompok orang yang tidak mementingkan amal perbuatan. Menurutku itu merupakan suatu dosa besar. Orang yang mencuri dan berzina lebih baik kondisinya dari pada orang  yang berkata demikian. Ahli marifat adalah orang-orang yang menunaikan amal-amal yang diperintahkan oleh Allah Taala sebagaimana yang dituntut oleh Allah kepadanya. Andai kata aku dapat hidup seribu tahun, maka sungguh aku tidak akan pernah meninggalkan amal kebaikan walaupun yang sebutir debu kecuali ada hal yang merintangiku untuk itu. Al-Junaid juga mengatakan, yang tidak menghafal Al-Quran dan mencatat hadits tidak dapat diikuti dalam persoalan ini (tasauf), karena ilmu pengetahuan kami terikat dengan Al-dan Sunnah. (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah).

Tidak hanya itu, mereka juga tokoh-tokoh yang peka dan berinteraksi secara dinamis dengan kondisi umat. Ramuan-ramuan kerohanian syariy jika tepat disebut demikian yang mereka sodorkan, pada tingkat pertama justru terarah pada perbaikan kondisi kehidupan zaman mereka hidup. As-Sirrul Jalil karangan Abul Hasan secara serta merta menampilkan zaman di mana umat Islam menghadapi kondisi yang kritis, berbagai bahaya datang menggerogoti tubuh umat baik dari luar (Eropa salibis dan Tatar) maupun dari dalam ( perebutan kekuasaan dan kesewenang-wenangan penguasa). Abul Hasan datangmenawarkan konsep perbaikannya yang khas. Suatu konsep yang ditarik dari kedalaman alam di mana ia hidup secara konkrit. Dan bukankah Allah Taala akan mengganjari amal baik hamba-Nya atas dasar niat dan maksud baiknya?! Sekalipun dengan konsep dan methode yang berbeda satu sama lain.

Sebaris dua baris mengenai riwayat hidup Sayyidi Abul Hasan Asy-Syazili, pendiri thariqah Asy-Syaziliyyah, agaknya cukup untuk sekadar mewakili suatu ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada tokoh ini, yang telah berpihak kepada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat.

Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar. Garis keturunannya bersambung sampai kepadaAl-Hasan putra Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az- binti Rasulullah saw. Syech Abul Hasan dilahirkan pada 593 Hijriyah di Maghrib (Maroko), di kota Ghamarah, tidak jauh dari Sabtah(Ceuta). Di kota itulah Abul Hasan mulai menimba berbagai ilmu pengetahuan agama sampai ia benar-benar menguasainya. Namun betapa pun dalam dan mapan penguasaan seseorang terhadap ilmu-ilmu lahiriyah semacam Fiqh, Nahwu dan Sharaf, ternyata itu masih belum dapat membawa jiwa menyelam ke alam kerohanian yang tinggi. Syech Abul Hasan memendam suatu hasrat yang amat kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala serta ingin menerangi kalbunya dengan Nur Marifah (cahaya marifat Allah Taala). Ia lantas mengambil keputusan untuk merantau ke Irak yang pada waktu itu merupakan kota tujuan setiap penuntut ilmu dunia dan agama. Karena Irak, di samping tempat para ahli-ahli ilmu dunia, juga merupakan pusat tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang  fiqh, hadits dan tasauf.

Ketika ia sampai di Baghdad, banyak waliyullah yang dijumpainya. Tokoh yang paling terkemuka pada waktu itu menurut Abul Hasan, adalah Abul Fath Al-Wasithi. Di Baghdad, Abul Hasan rahimahullah berusaha mencari tahu siapa gerangan quthb di Baghdad. Sampai pada suatu ketika seorang waliyullah mengatakan kepadanya, Abul Hasan, Anda mencari quthb di Irak sementara quthb yang Anda cari itu justru berada di negeri Anda sendiri. Kembalilah ke sana, tentu Anda akan menjumpainya Abul Hasan lalu kembali ke kota kelahirannya, Ghamarah, dengan penuh harapan semoga orang yang dicarinya selama ini dapat ia temui. Dan ternyata kepulangannya ke Ghamarah beroleh hasil, di sana ia bertemu dengan Al-Quthb Al-Akbar Abdussalam bin Masyisy, imam penduduk Maghrib sebagaimana Asy-Syafii imam penduduk Mesir.

Ibnu Masyisy beribadah di satu gua di puncak sebuah bukit di Ghamarah. Semenjak itu Abul Hasansering mendatangi dan berguru kepadanya. Salah satu ajaran yang diterima Abul Hasan dari gurunya itu berbunyi, Arahkan penglihatan iman, niscaya engkau akan mendapati Allah pada segala sesuatu. Syech ibnu Masyisy telah meramalkan tentang peristiwa-peristiwa besar yang akan dilalui oleh Abul Hasandalam hidupnya, dan karena itu ia menganjurkannya untuk pindah ke Afrika (sebutan untuk Tunisia pada zaman itu).

Dalam Durratul Asrar diterangkan bahwa Ibnu Masyisy memang menentukan kota Syafzilah di Afrika, bukan yang lain, sebagai tempat yang akan dituju oleh muridnya ini. Allah Azza wa Jalla menamakanmu Asy- Syazili, demikian kata Ibnu Masyisy kepada Abul Hasan. Setibanya di Syadzilah, ia langsung meneruskan perjalanannya ke Jabal Zaghwan, dan menundukkan dirinya semata-mata kepada Allah Taala lewat beribadah, shalat, puasa, tilawah dan tasbih. Meskipun demikian Syeikh Abul Hasan tidak menyembunyikan diri (mahjub) dari orang-orang yang ingin menjumpainya, ia selalu menyambut dengan baik setiap pecinta marifah, yang memang benar-benar serius dalam menuntutnya. Di dalam gua di gunung itulah, ia berkhalwat sampai dengan hatinya benar-benar kosong dari pada selain Allah, jiwanya suci dari segala keburukan, dan kebaikan telah terpatri dalam dirinya. Baru setelah itu, ia kembali bergabung dalam masyarakat untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada hamba-hamba Allah yang lain.

Mengenai penisbahan dirinya kepada Syazilah, Abul Hasan menuturkan, Pernah aku berkata, wahaiTuhan-ku, mengapa Engkau menamakanku dengan Asy-Syazili sedangkan aku tidak berasal dari Syazilah? Maka aku seolah-olah mendengar Suara mengatakan, wahai Ali, Aku tidak menamakanmu dengan Asy-Syadzili, akan tetapi engkau adalah seorang Syadzzili. Syadzzili dibaca dengan dengan tasydid huruf dzal, bermakna: orang yang diistimewakan untuk menjadi pelayan-Ku [lewat ibadah] dan memperoleh kecintaan-Ku.

Dari Syazilah, Syeikh Abul Hasan Asy-Syazili bertolak ke kota Tunisia, tempat mana dirinya akan menanggung suatu cobaan berat. Hal ini pernah diramalkan oleh Ibnu Masyisy ketika ia mengatakan kepada Abul Hasan, Akan ditimpakan ujian kepadamu di sana (Tunisia) dari pihak penguasa. Kisahnya, kepala hakim di Tunisia bernama Ibnu Al-Barra merasa iri melihat Abul Hasan mempunyai banyak murid dan populer di kalangan masyarakat, di samping tidak sedikit ahli-ahli fiqh dan ulama yang mengikuti majlisnya. Iri hati tersebut mendorong Ibnu Al-Barra untuk menghasut Syech Abul Hasan kepada SultanTunisia. Sultan yang termakan hasutan Ibnu Al-Barra lantas memerintahkan untuk mengurung Syeikh Abul Hasan di istananya untuk beberapa waktu. Namun apa yang terjadi? Dalam waktu itu pula Sultan ditimpa oleh banyak kejadian yang memilukan. Dan Sultan akhirnya menyadari bahwa apa yang terjadi kepada dirinya adalah bahagian dari karamah Abul Hasan Asy-Syazili. Maka tanpa menunggu lama, ia pun membebaskan Abul Hasan.

Dari Tunisia, Abul Hasan kemudian pindah ke Mesir. Kedatangannya di Mesir pada waktu itu bukan merupakan kali yang pertama. Sebab sebelumnya ia sudah pernah singgah di Mesir dalam perjalanannya menuju tanah suci untuk menunaikan fardhu haji. Tentang alasan mengapa ia datang lagi ke Mesir, Syeikh Abul Hasan mengungkapkan, Dalam mimpiku aku melihat Rasulullah saw., dan beliau berkata, Hai Ali, pindahlah engkau ke negeri Mesir, [dan di sana nanti] engkau akan mengasuh 40 orang teman.. Ia kemudian tiba di Alexandria (Iskandariyah), dan menikah di sana. Dari pernikahannya itu ia memperoleh keturunan; tiga lelaki dan dua perempuan. Hari-hari yang dilaluinya selama menetap di Mesir merupakan masa ketentraman lahir dan batin baginya. Sultan Mesir telah menghibahkan kepadaAbul Hasan sebuah benteng di Iskandariyah untuk tempat tinggal keluarganya. Pada waktu ia menetap di Mesir itu pula masa yang penuh barakah bagi Mesir, bukan saja dari sisi dawah, tapi juga dari sisi bahwa Mesir telah memuliakan seorang ulama yang paling tinggi dan utama, baik ilmu maupun akhlaknya.

Dalam Qamus Al-Muhith karangan Al-Fairuz-abadi diterangkan: Termasuk di antara orang-orang yang menghadiri majlisnya (yakni Abu al-Hasan) ialah Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiqil Id, dua tokoh ulama terpandang. Selain mereka, termasuk pula Al-Hafiz Al-Munziri, Ibnu Al-Hajib, Ibnu Shalah, Ibnu Ushfur, serta ulama-ulama lain dari Madrasah Kamiliyah di Kairo. Kamiliyah adalah madrasah yang pembelajaran fiqhnya didasarkan kepada mazhab Imam Asy-Syafii,  didirikan oleh SultanAl-Kamil, kemenakan Shalahuddin Al-Ayyubi, di permulaan abad ke-7 Hijriyah. Madrasah itu terletak diJalan Al-Muiz Lidinillah (Jalan Ash-Shaghah). Madrasah ini juga pernah masyhur dengan nama Darul Hadits lantaran Sultan Al-Kamil menyediakannya khusus untuk para pelajar dan pengajar Hadits. Sesudah mereka, baru kemudian tempat tersebut dimafaatkan oleh para ahli fiqh mazhab Asy-Syafii. Sultan Kamil telah mewaqafkan berbagai harta dalam bentuk benda yang dari hasilnya dapat dipakai untuk membiayai seluruh keperluan madrasah.

Syech Abul Hasan berpenampilan bagus, ucapan-ucapannya enak didengar dan tidak berhaluan radikal dalam kesufiannya sebab ia mengatakan, Thariqah ini bukan merupakan sikap ruhban (biarawan); tidak makan gandum dan kurma, dan bukan pula dengan banyak mengucapkan kata-kata sastra. Tetapi ia adalah sabar dalam menerima segala suruhan (syariat Islam) dan yakin dalam hidayah...

Kampoeng Pitulikur 11 April 2015 Insyaalloh besok menerangkan Wafatnya Syech Sadzili dan diteruskan Murid2nya hingga Faham SADZILIYAH ada diJawa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar