Senin, 21 Desember 2015

Imam syadziliy, bagian 7, tulisan kyai Choliedin qosim

Lanjutan Postingan Sisi lain perjalanan Syech Abul Hasan, para murid dan Ajaranya.....

Almursi Khalifah Besar Thariqah Syadziliyah

Nama dan Nasabnya :
Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshory, al-Mursi radiallahu 'anhu. sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa'ad bin Ubadah radiallahu 'anhu pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota Marsi, salah satu kota di Andalus Spanyol dan meninggal pada tahun 686 H /1287 M.

Al-Mursi masa kecilnya ayahnya sudah mengirim kepada salah satu waliyullah untuk membimbing menghapal Alquran dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Waktu kecil beliau sudah terlihat kehebatan dan kecerdasannya lebih dari itu ia dianugrahi oleh Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya. Suatu ketika al-Mursi bercerita : "Ketika aku masih usia kanak-kanak aku mengaji pada seorang guru dan aku mencoret - coret pada papan tulis, lalu guru tadi mengatakan : 
"seorang sufi tidak pantas menghitamkan yang putih". Seketika aku menjawab : " saya mencoret - coret papan tulis ini bukan seperti yang panjenengan sangka, tapi yang benar adalah seorang sufi tidak pantas menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa".

Pada waktu muda beliau sudah dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang sholeh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Murcia ke kota lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT.

Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena gelombang. Banyak penumpang kapal yang meningal termasuk kedua orang tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan perjalannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahya.

Pertemuan beliau dengan al-Syadziliy

Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzily sebagai berikut: "Ketika aku tiba di Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu al-Hasan, lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau, maka aku jawab : "aku mau berististikhoroh dulu"! Setelah itu aku tertidur dan bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. Laki laki berwibawa itu kemudian berkata : "aku telah menemukan penggantiku sekarang"! Di saat itulah aku terbangun.

Selesai menjalankan sholat subuh, seseorang yang mengajakku mengunjungi Syaikh Abu al-Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi ke kediaman Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya. Syekh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku semakin menjadi ketika Syekh Abul Hasan berkata padaku: 
"Telah aku temukan penggantiku sekarang". Persis seperti dalam mimpiku. Selanjutnya beliau bilang : "siapa namamu ?" Lalu aku sebutkan namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar : "Engkau telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!".

Semenjak kejadian itu al-Mursi merasa mantep dan terus mendapatkan wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu al-Hasan ini. Mereka berdua membangun pondok (Zawiyyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan ilmu kepada murid-murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan profesinya. Ada dari kalangan ulama', pedagang juga orang awam.

Syaikh al-Syadzili sebetulnya sudah lama meninggalkan Tunis. Ia pergi dan sudah menetap diIskandariyah Mesir. Kembalinya ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini beliau menjawab : "Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda ini (maksudnya Abul 'Abbas al-Mursi)". Setelah itu Al-Syadzily kembali lagi ke Iskandariah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad SAW dalam muhammad.

Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke Iskandariah ini : "Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju ke Iskandariah, aku merasa sangat susah dan berat sehingga aku tidak mampu menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat penderitaanku ini, beliau berkata: "Hai Ahmad...!", aku menjawab: "Iya tuanku", Beliau berkata: "Allah telah menciptakan Adam alaihis salam dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya ke bumi,. Demi Allah... Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya :

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة......

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...."

Allah tidak mengatakan di langit atau di surga namun dibumi, Maka turunnya Adam ke bumi pada dasarnya adalah untuk memuliakannya bukan untuk merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta'rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga pemberitahuan (Ta'rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah)".

Begitulah Syaikh Al-Syadzili mengantarkan Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia-rahasia ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya dia jadi Abu al-Hasan itu sendiri. Sebagaimana Al-Syadzili sendiri pernah mengatakan : "Wahai Abu al-Abbas... demi Allah., aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah saya, dan saya adalah kamu. Wahai Abu al-Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya".

Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh Ibn Atho'illah al-Askandari: "Suatu ketika Syaikh al-Syadzili ada di rumah Zaki al-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan al-Nafari, lalu beliau bertanya: "Kemana Abu al-Abbas? " Ketika Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: " Wahai anakku... bicaralah! Semoga Allah memberkahimu... bicaralah ! jangan diam", maka Syaikh Abu al-Abbas mengatakan: "Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu".

Pada banyak kesempatan Syaikh al-Syadzili memuji ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: "Inilah Abu al-Abbas, semenjak dia sampai pada ma'rifatullah tidak ada halangan antara dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti permintaan itu tidak akan dikabulkan.

Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh al-Syadzili bekata: "Wahai Zaki... berpeganglah pada Abu al-Abbas, karena demi Allah, semua wali telah ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu al-Abbas ini. Hai Zaki... Abu al-Abbas itu seorang laki-laki yang sempurna".

Hal yang sama juga terjadi ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh al-Syadzily mengatakan: "Wahai Nadli... tetaplah bersopan santun pada Abu al-Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariah"! As-Syadzili juga mengatakan: "Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi, karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah".

Ilmu al-Mursi
Imam Sya'roni menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut mengatakan: " berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir, tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang diingkari oleh syara". Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya. Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan penuh sesal ia berkata : "Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan ilmu Tuhan dan tangan Tuhan". Akhirnya dia menjadi salah satu murid dekat al-Mursi. Abu al-Abbas mengatakan : "Kami orang-orang sufi mengkaji dan mendalami bersama ulama' fiqih bidang spesialisai mereka, tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialis kami".

Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada ilmu fiqh dan tasawuf. Ibnu Atho'illah menceritakan dari Syaikh Najmuddin al-Asfahani : "Syaikh Abu al-Abbas berkata padaku: " Apa namanya ini dan itu dalam bahasa asing?" Tersirat dalam hatiku bahwa Syech ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah. Beliau bertanya: " Kitab apa ini?", Aku jawab : "Ini kamusnya". Lalu Syech tersenyum dan berkata: " Tanyakan padaku apa saja, terseserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau sebaliknya". Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab, beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: " Wahai Abdullah... ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit, bahasa apapun itu.

Imam Mursi Dalam menafsiran ayat

إياك نعبد وإياك نستعين

" Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. " Al-Mursi menafsiri sebagai berikut, " اياك نعبد " Hanya Engkaulah yang kami sembah maksudnya adalah Syariah, dan " وإياك نستعين  " hanya kepada-Mulah kami memohon adalah Haqiqoh. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Ubudiyyah.

Karomah Kewalian Imam Mursi  sangat banyak di antaranya:

• Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat A'sidah (sejenis makanan) diIskandariah pada saat itu tengah musim panas. Karena heran ada seseorang yang bertanya : "Bukankah A'sidah itu untuk musim dingin ?". Dengan tenang al-Mursi menjawab : " A'sidah ini untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah dia akan datang kesini ".

• Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi dengan membawa makanan syubhat (tidak jelas halal-haramnya) untuk mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya pada orang tersebut sambil berkata: "Kalau al-Muhasibi hendak mengambil makanan syubhah otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku akan bergetar" .

• Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariah semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi melihat hal ini, Syech al-Mursi mengatakan: " Selama aku ada ditengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk". Dan memang musuh tidak masuk ke Iskandariah sampai Abu-al Abbas al-Mursi meninggal dunia.

Al-Mursi juga seseorang yang sangat memperhatikan kehidupan Masyarakat, beliau sangat memperhatikan orang miskin dan kelaparan. Diceritakan pada suatu ketika cuaca sangat buruk angin kencang dan ombak sangat besar hingga para nelayan tidak memperoleh tangkapan ikan. Murid beliau Yaqut Al-Al-Habasyi pada waktu itu mendapat tangkapan ikan yang banyak. Ada seorang yahudi yang ingin membeli ikan dari tangkapanya namun Yaqut tidak memberinya dan menjawab " Jangan ini ikan akan saya berikan kepada guruku", dan hal tersebut diketahui oleh Imam Mursi yaitu ada seorang yahudi yang kelaparan dan menginginkan untuk membeli ikan tersebut, singkat cerita ahirnya Imam Mursi menyuruh Yaqut untuk memberikan ikan tangkapanya secara gratis kepada orang yahudi karena orang yahudi tersebut mempunyai anak anak, istri yang kelaparan yang tentunya lebih membutuhkan ikan. Ahirnya keluarga yahudi tersebut masuk Islam. AL-Mursi mempunyai pandangan yang sama dengan gurunya Syech Sadzili dalam kehidupan bermasyarakat.

Murid-murid Imam Mursi sangat banyak antara lain terkenal adalah Imam Busyiri seorang penyair dari barbar, penulis kitab Al-Burdah yang sampai sekaran lantunan lantunan qosidahnya masih sangat sering kita baca. Alburdah merupakan untaian nadzom yang isinya berupa pujian pujian kepada Rosululloh sayyidina Muhammad Saw. Imam Bushiri wafat tahun 694 H / 1295 M. Diantara muridnya yang lain adalah Najmuddin Al-Ishfahani ( 721 H / 1321 M ) beliau berkebangsaan Persia ( Iran ) yang menetap dimekah dan menyebarkan Thoriqoh Sadziliyah kepada para jamaah haji.

Syech Abul Abas Al-Mursi sama seperti gurunya beliau berdua tidak meninggalkan karya tulis, karena beliau berdua sibuk menyebarkan dakwahnya. Ajaran -ajaran Asy -Syadzili dapat diketahui dari kitab - kitab yang ditulis oleh murid - murid beliau. Yang menonjol dari Murid Imam Mursi adalah Syech Athoillah Assakandari ( 709 H / 130 M ) pengaruh faham Sadziliyah terhadap Syech Athoillah sangat kental dalam karya karya Syech Athoillah teruma kitab Al - Hikam yang berisi rangkuman rangkuman jejak rekam ajaran Thoriqoh Sadziliyah dari guru beliau, dan juga Hizb - Hizb Syech Abul Hasan Assyadzili yang disampaikan oleh Imam Mursi kepadanya, antara lain Hizb Hizb yang banyak diamalkan oleh pengikut Thoriqoh Sadziliyah yaitu Hizb Bahr. Diindonesia hizb yang banyak diamalkan oleh murid sadziliyah disamping Hizib Bahr yaitu Hizb Nashor Lisayyidi Abil Hasan Assadzili, Hizb Barr Lil'arif billah Abul Hasan Asy-Syadzili.

Syech Abul Abbas Al-Mursi wafat pada tahun 686 H /1287 M diIskandaria dan beliau disamping Kholifah pertama Syech Abul Hasan Assadzili juga sebagai menantu sang wali qutub agung tersebut.
Syech Abul Abbas Al-Mursi dimakamkan diIskandaria Mesir tepatnya sekarang dikompleks Masjid Al-Mursi yang terletak di kawasan Anfoushi, Alexandria, yang dibangun atas nisbat seorang sufi terkemuka, yaitu Abu Al-Abbas al-Murcia asal Spanyol...

Berambung

Insyaalloh dilanjutkan membahas pengaruh pemikiran dan tulisan Syech Athoillah Assakandari yang merakam jejak rekam perjalan ruhaniahnya dan juga perjalanan ruhaniah gurunya dan guru dari gurunya yang sehingga tulisan tersebut menjadi pedoman teks book Thoriqoh Sadziliyah...

Senin 13 April 2015
Kampoeng Pitulikur...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar